Hentikan kenangan!
Aku membencinya seperti kemarahan dan bara dalam hati
Tatap mesra yang kau pertontonkan
Ceriamu laksana bulan dan bintang
Adalah angkara penghias cakrawala
Turunkan saja gambar penghias langitmu
Kerna ia, padi merunduk dan menunjuk mukaku
Tanpa rasa salah dan kian merunduk
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu
Sebab aku adalah kereta tua. Dan rapuh.
Malam ini ia datang
Membungkus rembulan untuk keharibaanmu
Sesembahan terindah dalam hidupmu
Adalah harapan masa depan dan terbentang
Seperti dalam gambar
Gambar kebanggaanmu
Malam ini tidak membuat logikaku bekerja otoriter
Lalu apa maunya langit yang menangis
Karena melihat sepasang belibis bercintaan dalam kolam
Maka, hentikan kenangan.
Karena aku ingin Stoutt, Cassberg dan sebuah martil.
Senja ini;
Jiwaku terbang melayang menembus cakrawala
Memaknai segala yang bertebaran
Karena luka dan ketakberdayaan adalah memoar dunia,
Hidup;
adalah ruang hampa dan jiwa yang terbelenggu, lalu
Memaknai hidup adalah indahnya kanvas abadi
Karena jiwaku rumah di lembah, dan
Sajakku cerita tentang kecewa
Maka, senja ini juga hidup
Luka dan ketakberdayaan adalah goresan kanvasnya
Padahal hidup harus memaknai semuanya
Padahal hidup harus menepiskan segalanya
Agar bisa hening dalam diam untuk memaknainya
Jiwaku berbunga ketika taman di depan rumah mulai berbunga
Jiwaku memikul buah ketika kebun di belakang rumah berbuah, lalu
Jiwaku berwujud sepotong bambu tua yang lapuk
Yang akarnya menancap ke dasar bumi
Dan dahannya liar melingkar
Aku bersajak dalam sepi di senja ini …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar