Saat gurat merah sore meretakkan langit. Saat aku pulang beraktivitas. Anak-anakku berlarian di pematang sawah berlomba bergelayut di leherku. Lelah, letih, penat hilang sirna seketika. Kebahagian mengganti. Mengalir lewat sendi, vena dan pori-pori tubuh ini. Subhanallah, senyum istriku berpadu, penuh magis.
Pada sekian laksa bintang. Pada separuh bumi. Kubagikan romantisme sakral ini. dengan penuh kepongahan agar mereka iri dan tepesona menyaksikan keindahan laju perahu keluargaku.
Bulan bulat telanjang pun seakan menyempurnakannya. Apakah juga jangkrik-jangkrik. Tentu. Bahkan detak jam dinding pun bertashbih mengagumi cinta kami. Bertahmid; memuji Allah yang telah dengan kemaharahimanNya mengamanhkan keindahanNya pada kami...
Tersentak, saat secangkir teh ini tinggal separuh meninggalkan dedaknya. Sesosok tubuh kuyu merengkuh. Memeluk kakiku. Menangis sejadi-jadinya. Ibunya yang mengasihi dan dikasihi dijemput sang pemilik Arasy. Untuk bersandingan.
Kubopong anak itu, kuaping bersama istriku. Dengan penuh kasih sayang tanpa pembeda, istriku menyeka sudut-sudut matanya yang sembab, bengkak oleh tangisan tak terhenti.
"Ibumu akan senantiasa ada bersamamu. Jangan anggap ia pegi begitu saja. Tidak. Ia tetap hidup. Ia tetap abadi bersamamu. Hanya saja tempat yang berbeda. Ia bersama Allah. Tabah"
Di dekapan erat istriku, ia masih sesunggukan. Anak-anakku menyapu-nyapu punggungnya. Memeluknya. Mhhhmm. Aku terjebak pada keharuan paling dalam. Termangu sesaat. Ta'ziyah sekaligus tasyakur, anak-anakku sudah mampu berempati.
Kematian adalah bentuk cinta yang paling agung penuh magis dari Allah. Karena kematian adalah keindahan dari keajaiban perjalanan menuju Allah. Menuju ke keabadian. Maka ketakutan akan kematian adalah kebodohan akalbudi. Bagaimanapun kematian akan bersetubuh dengan setiap makhluk hidup"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar